Suatu
hari Rasulullah SAW pulang dari perjalanan jihad fisabilillah. Beliau
SAW pulang diiringi oleh para sahabat. Di depan pintu gerbang kota
Madinah tampak Aisyah, istri beliau SAW, yang sudah menunggu dengan
penuh harap dan rasa rindu. Akhirnya Rasulullah SAW tiba juga ditengah
kota Madinah. Aisyah menyambut dengan sukacita kedatangan sang suami
tercinta. Saat Rasulullah SAW dirumah dan beristirahat
sejenak melepas lelah, Aisyah berada dibelakang rumah, tengah sibuk
membuatkan minuman untuk sang suami. Lalu minuman itupun segera
disuguhkan kepada Rasulullah SAW dan beliau SAW pun meminumnya perlahan
hingga ketika minuman tersebut hampir habis, tiba tiba Aisyah berkata, “
Ya Rasulullah, biasanya engkau memberikan sebagian minuman kepadaku,
tapi kenapa pada hari ini tidak kau berikan gelas itu?” Rasulullah SAW
hanya diam dan malah hendak melanjutkan meminum habis sisa air di gelas
itu.
Lantas Aisyah bertanya lagi, “Ya Rasulullah, biasanya
engkau memberikan sebagian minuman kepadaku tapi kenapa pada hari ini
tidak kau berikan gelas itu?” Akhirnya Rasulullah SAW pun memberikan
sebagian air yang tersisa di gelas itu. Aisyah langsung saja meminumnya,
tetapi ia sontak kaget dan kemudian memuntahkan air yang sebenarnya
sudah berada di dalam mulutnya. Ternyata air itu sungguh terasa asin,
bukannya terasa manis. Aisyah baru tersadar dari khilafnya, bahwa
minuman yang dibuatnya tadi ternyata tanpa sengaja tercampur dengan
garam, bukan gula. Kemudian Aisyah langsung meminta maaf kepada
Rasulullah SAW.
Itulah sebagian dari banyaknya kemuliaan akhlak
Rasulullah SAW, sebagai seorang suami dari seorang istri yang juga tak
luput dari kekhilafan. Beliau SAW memaklumi kesalahan yang dilakukan
oleh istrinya, tidak menasihatinya dengan kata-kata kasar, apalagi
membentaknya atau memarahinya. Rasulullah SAW memang sungguh telah
memberikan suri-tauladan yang baik, bahwasanya akhlak yang mulia itu
bisa dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga kita. Sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi (At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban) menyebutkan bahwa, “Lelaki yang paling baik diantara kalian
adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya.”
Benar
pula nasihat Muhammad Al-Ghazali (1917-1996), “Pernikahan itu bukan
sekadar penyaluran kecenderungan badani, tetapi menampilkan kebersamaan
dalam materi, tata krama, dan sosial yang menuntut berbagai keahlian.”