Pengajian Ramadhan di Masjid Niaga Rahmat tadi menghadirkan nara sumber Prof.Dr. H. Didin Hafiduddin, MSc salah satu ustadz favoritku.
Dompet di saku celana kutarik keluar ketika melihat teman pengurus masjid menenteng kotak amal untuk diedarkan. Kujulurkan tanganku menyambut kotak tadi, langsung kuteruskan estafet ke teman sebelahku, tanpa memasukan uang sepeserpun.
Ya, niat berinfaq kuurungkan karena uang di dompetku semua lima puluh ribuan. Memang sempat terjadi pergulatan sengit antara niat berinfaq melawan pertimbangan2 pelit dalam diriku, tetapi hanya dalam sepersekian ribu detik sudah keluar sang pemenangnya, hari ini tidak berinfaq dulu. Pledoiku, kalau memang harus berinfaq lima puluh ribu, lebih baik saya infaqkan untuk masjid di perumahan saya. Di mataku, masjid ini mempunyai banyak jamaah dengan kekuatan financial yang tangguh, jadi kantung kasnya pasti jauh lebih ’borjuis’ dibandingkan dengan masjid2 lain seperti masjid dekat rumahku .
Aku sempat jengah, ketika sang professor idolaku menyampaikan kajian ’Mathematika Allah’, bahwa uang tidak akan berkurang sama sekali apabila kita keluarkan di jalan Allah, seperti untuk infaq, sodaqoh atau bahkan zakat. Secara nominal berkurang tetapi kita memiliki piutang yang nilainya bisa sampai tujuh ratus kali bahkan lebih dan pasti akan tertagih, entah kapan, bisa jadi di akhirat kelak. Ada yang perih mengiris pojok hati, penyesalan si kikir.
Di sekitar underpass Cawang yang selalu kulewati dalam perjalanan pulang kantor, banyak sekali orang minta minta dengan segala lagak dan gayanya. Lampu kabin kunyalakan untuk meyakinkan uang yang ada di laci dashboard, yang akan kusedekahkan masing-masing selembar ribuan, karena baru saja kukeluarkan dari dompet selembar lima puluh ribuan untuk membayar tol Pondok Gede Barat, sambil mengharapkan nanti akan memperoleh kembalian dengan pecahan lebih kecil.
Aku yakin sekali uang yang ku-bagi2kan ke orang yang minta minta semuanya dalam pecahan ribuan dan kusisakan dua lembar seribuan dan selembar limapuluh ribuan tadi, sambil pede sekali bahwa hutangku dengan kotak amal masjid tadi siang impas sudah.
Dalam antrian membayar karcis tol aku mengambil lembar lima puluhan ribu yang berada ditumpukan bawah, tetapi yang ketarik yang seribuan, karena hanya tiga lembar saya ambil semuanya dan saya terkejut, ternyata semuanya lembar seribuan.
Aku belum percaya, kunyalakan lampu kabin dan kucari di bawah laci dashboard dan di kolong, tidak ada sama sekali. Kewarasan otakku menyanggah kalau aku salah
memberi ke orang minta minta tadi dengan selembar lima puluh ribuan, wong semua sudah aku check di bawah lampu dan sangat jelas membedakan selembar ribuan dengan selembar lima puluh ribuan, lebarnyapun berbeda sekali.
Aku menjadi teringat, tadi ada salah satu ibu-ibu yang kukasih ’seribuan’ itu, menerima sambil membungkukkan badannya dalam sekali sambil bergumam yang tak jelas, pasti ibu2 tadi yang menerima selembar ribuan yang sudah ditukar oleh malaikat dengan lima puluh ribuan....
Istriku cekikikan ketika sampai rumah kuceriterakan kejadian itu, sambil ’sok ngustadzah’ berkomentar :” Dengan Gusti Allah kok etung2an, memang Allah hitung2an kalau memberi rezeki ke kita?”
Malam itu sholat Isya’ku lebih panjang, sujudku meninggalkan basah di tepian sajadah, ampuni hambaMu yang kikir ini ya Allah, alhamdulillah Engkau menjewerku tunai dan langsung, untuk memberi peringatan yang indah sekali dan sukses besar membuatku malu padaMU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar