Pernikahan Wanita Hamil Di Luar Nikah dan Status Anak
Assalammu'alaikum wr wb
PERNIKAHAN WANITA HAMIL KARENA ZINA
Ada dua macam wanita hamil. Hamil oleh suami dan hamil karena berzina.
Wanita yang hamil oleh suaminya, kemudian dia bercerai, maka tidak boleh
menikah dengan lelaki lain kecuali setelah melahirkan. Adapun wanita
yang hamil karena zina maka menurut sebagian ulama boleh menikah dengan
laki-laki yang menghamilinya maupun dengan lelaki lain. Ikuti detailnya
di bawah.
PERNIKAHAN WANITA HAMIL LUAR NIKAH DENGAN LELAKI YANG MENGHAMILI
Pendapat ulama ahli fiqh mengenai status Pernikahan Pasangan suami istri yang hamil duluan sebelum menikah
A. Pendapat yang membolehkan/mengesahkan pernikahan semacam itu
Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa harus
menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak
zina karena tidak ada nasab (keturunan).
Kompilasi Hukum
Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita
hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu : 1.
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh
(jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga
diperkuat oleh beberapa hadits sbb:
i. Dari Aisyah ra berkata,
"Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan
seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,
"Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak
bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
ii: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang
suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut
memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan
An-Nasa'i)
iii: Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas
ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki
Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun
orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak
menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas
berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa
maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
iv: Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan
seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab,
"Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
Kalangan Sahabat Nabi yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas
STATUS ANAK ZINA YANG IBUNYA MENIKAH DENGAN AYAH BIOLOGISNYA
Status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan
setelah akad nikah--berarti usia kandugan sekitar 3 bulan saat menikah,
maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada
ikrar tersendiri. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam
setelah pernikahan--berarti usia kandungan lebih dari 3 bulan saat
menikah, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu
menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah
dagingnya.
Kesimpulan: hukum pernikahan A dan B sah dan tidak
perlu diulang. Dan status C (anak yang dikandung sebelum menikah) juga
sah menjadi anak kandung A baik secara biologis dan syariah. Namun jika
si jabang bayi C lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka
ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara
tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. A juga
boleh menjadi wali dari D (anak kedua) karena berasal dari pernikahan
yang sah dengan B.
B. Pendapat yang mengharamkan pernikahan semacam itu
Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud termasuk di
antara Sahabat yang mengharamkan pria menikahi wanita yang dizinainya.
Dan karena itu, mereka tidak menganggap sah pernikahan semacam ini.
Ulama madzhab Maliki dan Hanbali juga mengharamkan.
PERNIKAHAN PEREMPUAN HAMIL ZINA DENGAN PRIA LAIN BUKAN YANG MENGHAMILINYA DAN STATUS ANAK
A. Boleh Menikah tapi Tidak Boleh Berhubungan Badan
Menurut madzhab Hanafi, boleh menikah tapi tidak boleh ada hubungan
badan sampai anak zina tadi lahir seperti keterangan dalam kitab Durr
al-Mukhtar karya Haskafi.
Dasar hadits:
1. Tidak boleh berhubungan badan dengan wanita hamil kecuali setelah melahirkan.
2. Seorang lelaki mukmin tidak halal berhubungan badan dengan perempuan hamil. (HR. Abu Daud)
B. Boleh Menikah dan Boleh Berhubungan Suami-istri
Menurut madzhab Syafi'i boleh menikah dan boleh berhubungan suami-istri
sebagaimana keterangan dalam kitab Futuhat al-Wahhab karya Sulaiman al
Jamal.
STATUS ANAK ZINA YANG IBUNYA MENIKAH DENGAN PRIA LAIN (BUKAN AYAH BIOLOGISNYA)
Ada dua pendapat:
Pertama, status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Dan
karena itu dinasabkan pada ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya
karena faktanya ia bukan ayah biologisnya. Apabila anak tadi terlahir
perempuan, maka yang menjadi walinya adalah wali hakim atau pejabat KUA
(Kantor Urusan Agama).
Kedua, menurut madzhab Hanafi, anak
yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah
dengan pria yang mengawini wanita tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar